RSS

[Fiqih] Hukum Wadh'i dan Penerapannya dalam Islam


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum. Wr. Wb
Segala puji syukur hanya bagi Allah swt. Hanya kepada-Nya segala makhluk menyembah. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. keluaraga, sahabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun isi dari makalah ini kami kutip dari buku ataupun dari situs-situs internet.

Makalah ini menjelaskan tentang “Hukum Wadh’I dan Penerapannya dalam Islam” yang terdiri atas pengertian,macam-macamnya beserta contohnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat kita laksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari.


Billahi taufik walhidayah
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb



Palangka Raya,   Januari  2011


        Penulis
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
3




BAB I
PENDAHULUAN………………………………..
4

A.              LATAR BELAKANG……………………..
4

B.              RUMUSAN MASALAH…………..............
5

C.              TUJUAN PENULISAN……………………
6
BAB II
HUKUM WADH’I DAN PENERAPANNYA DALAM ISLAM………………………………....
7

A.             PENGERTIAN…………………….............
7

B.                MACAM-MACAM HUKUM WAD’I……………………………………...
7

C.              CONTOH HUKUM WAD’I………...........
10
BAB III
PENUTUP………………………………………..
13

A.             KESIMPULAN…………………………….
13

B.             SARAN……………………………………..
13

DAFTAR PUSTAKA……………………………………….

15








BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, yang hukum dan aturannya mencakup segala bidang dan aspek kehidupan manusia. Dalam bidang politik, Islam telah mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara berpolitik, berfikir, dan berasumsi yang baik dan benar yang pada akhirnya dapat memberi kemaslahatan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini tercermin pada peran Rasulullah Saw. saat menjadi presiden, pemimpin, dan khalifah umat Islam semasa berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam bidang ekonomi, Rasulullah Saw. yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai Uswah Hasanah, telah memberi contoh kepada para bisnismen tentang bagaimana cara berniaga yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam bidang pendidikan, Rasulullah Saw. telah memberikan metode kepada para dosen, mentor, dan da’i tentang bagaimana cara menyampaikan ilmu yang baik sesuai dengan keadaan penerima, sehingga ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan jelas. Dalam bidang sosial, Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara bertetangga dan bermasyarakat yang baik sehingga bisa terjalin hubungan yang harmonis antar sesama, Rasulullah Saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku barada di tangan-Nya, seorang hamba tidak dikatakan beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Itulah sebagian bukti akan kesempurnaan dan perhatian Islam terhadap kemaslahatan hidup umat manusia. Permasalahan muncul setelah Nabi Saw. wafat. Beliau yang tidak lain adalah mediator antara Syâri’ dan mukallaf, telah menjadi rujukan para sahabat untuk menanyakan segala hukum yang terjadi pada masanya. Maka pada zaman sekarang, para ulama dituntut untuk bisa menentukan hukum permasalahan-permasalahan yang belum dijelaskan dalam al-Nushûsh al-Syâr’iyyah dengan menggalinya dari sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan metode yang telah disepakati oleh para ulama maupun yang ada ikhtilâf, seperti ijmâ’, qiyâs, istihsân, dan lain-lain.

Hukum oleh para ushûliyyîn didefinisikan sebagai khithâb Allah Swt. yang mempunyai kaitan dan hubungan dengan pekerjaan dan tingkah laku mukallaf yang di dalamnya terkandung kehendak atau permintaan (iqtidhâ`), kebebasan memilih (takhyîr), dan ketetapan (wadh’îe). Dalam ilmu ushûl fiqh, secara global hukum terbagi menjadi dua macam. Yang pertama, hukum taklîfîe, yaitu hukum yang berhubungan dengan beban (kulfah) bagi seorang mukallaf. Yang kedua, hukum wadh’îe, yaitu hukum yang berhubungan dengan hal-hal ditetapkannya suatu hukum syariat. Kedua macam hukum ini mempunyai macam dan bagian masing-masing. Pada makalah yang sederhana ini –atas izin dan ridha-Nya- penulis akan memaparkan tentang definisi hukum wadh’îe beserta macam dan bagiannya.


B.   Rumusan Masalah
Islam memiliki banyak hukum. Berkaitan dengan hal ini tentunya menjadi rujukan pedoman kita sebagai umat islam. Dengan demikian kami bermaksud merumuskan masalah yang ingin dikaji dalam pembahasan berikutnya, yaitu :
1.     Apa yang dimaksud dengan hukum wadh’i?
2.     Sebutkan macam – macam hukum wadh’i?
3.     Apa peranan hukum wadh’i dalam Islam?

C.  Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, adalah :
1.     Menambah wawasan pengetahuan tentang hukum wadh’i dan penerapannya dalam Islam, serta
2.     Sebagai realisasi pemenuhan tugas Fiqih kepada guru mata pelajaran yang bersangkutan.


























BAB II
HUKUM WADH’I DAN PENERAPANNYA DALAM ISLAM

A.  Pengertian

Hukum wad’I adalah khitab syar’I yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Ketentuan hukum ini di kenal dengan istilah lain sebagai pertimbangan hukum. Hukum wad’I juga bisa dikatakan hukuman yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan sebab atau mani’.

B.   Macam-Macam Hukum Wad’i

Para ulama’ usul fiqh menyatakan bahwa hukum wad’I itu ada lima macam yaitu ;
1.     Sebab
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud atau tujuan. Secara bahasa Sebab yaitu sifat yang nyata dan dapat di ukur yang dijelaskan leh nash al-qur’an atau sunnah bahwa keberadaannya menjadi petunjuk bagi hukuman syara’ artinya, keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum. Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dzuhur.
2. Syarat
Syarat ialah: suatu yang menyebabkan adanya hukum dengann adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.
3. Mani’
Mani’ yaitu sifat yang nyata yang keberadaannya menyebabkna tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Seperti hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan terjadinya hubungan kewarisan. Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.
4. Sah dan Batil
Lafadz sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperlah pahala dan ganjaran di akhirat. Sholat diakatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.
Lafadz batal dapat diartikan tidak lepas diartiakn tanggungjawab tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan akhirat tidak memperolah pahala.
5. Aziman dan Rukhsah
Aziman dan rukhsah: adalah hukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruh hambanya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh makhluk wajib mengikuti sejak hukum tersebut disyariatkan. Misalnya: jumlah rakaat sholat dzuhur adalah empat rakaat, jumlah rakaat ini ditetapkan Allah sejak semula dimana sebelumnya tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat sholat dzuhur, hukum tentang rakaat sholat dzuhur itu adalah empat rakaat disebut dengan aziamh, apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat dzuhur dua rakaat seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhsah.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih (takhyîr) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azîmah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk dalam hukum taklîfîe mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syâri’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syâri’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlân adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabî’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.

C.   Contoh Hukum Wad’I
Contoh hukum wad’I menurut firman Allah swt.dan sunah Rasulullah saw.berikut
1.      Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Sebab yang Lain
Allah swt.berfirman dalam Surah al-Isra’ Ayat 78
( أقم الصلاة لدلوك الشمس (الإسراء: 78)
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Artinya :“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”

2.     Khitab Allah swt.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Syarat yang Lain
Allah berfirman dalam Surah an-Nisa Ayat 6
Setelah memperhatikan contoh di atas, di sana tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab dan munculnya suatu hukum syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri. Dalam hal seperti ini para ulama ushûl menyebutnya sebagai al-sabab dan al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-sabab saja dan bukan al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang mempunyai kesesuaian yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.

3.     Khitab Rasullulah saw.yang Menunjukan Sesuatu Menjadi Penghalang (Mani’).
Rasulullah saw.bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang artinya :
“Tidak ditulis sebagai dosa dari tiga hal, yaitu dari orang gila sampai ia sembuh (berakal), dari orang tidur sampai bangun, dan dari anak kecil sampai dia dewasa. ( H.R. Abu Dawud dari Ibnu Abbas : 3823)”
         
Hadits diatas menggambarkan bahwa gila menjadi penghalang terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi penghalang (Man’i) terhadap perbuatan yang sah. Selain hadits diatas, terhadap pula hadits yang lain, yang artinya :
“Orang islam tidak mewarisi orang fakir dan orang kafir tidak mewarisi harta orang islam. ( H.R. al-Bukhari dari Usamah bin Zaid : 6267 dan Muslim : 3027)”
Berlainan agama antara orang yang mewariskan hartanya dan orang yang mewarisi menjadi penghalang seseorang untuk menerima harta waris.
          Berdasarkan ketentuan dan contoh-contoh tersebut, hukum wad’I pada dasarnya sebagai petunjuk dalam melaksanankan hukum taklifi. Mengenai hukum wad’I para ulama berpendapat bahwa hukum wad’I tidak hanya mengandung lima hal diatas, tetapi juga mengandung rukhsah (kemurahan), dan sihah (sah).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum wadh’îe adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mâni’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’îe karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’îe adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mâni’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shâhîh), rusak atau batal (fâsid), ‘azîmah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilâf di kalangan para ulama tentang al-shihhâh, al-buthlân atau al-fâsid, al-‘azîmah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’îe. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’îe.

B. Saran
Hukum wadh’ie yang telah ditetapkan oleh Syâri’ sebagai faktor keeksistensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklîfie. Macam dan bagian serta ikhtilâf yang terjadi di kalangan para ulama dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi saja, karena di sana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam makalah yang sederhana ini mengingat situasi dan kondisi. Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca serta kaum muslimin pada umumnya. Wallâhu a’lamu bi al-shawâb.












DAFTAR PUSTAKA

http://www.masroel.co.cc/2009/08/mengenal-hukum-wadhi-dalam-ilmu-ushul_25.html


3 komentar:

Sepatu Anak Murah mengatakan...

makasih infonya cukup menarik penjelasannya

Sepatu Nike Murah mengatakan...

terimahkasih infonya sangat menarik penjelasannya, mantab.

Syafi'i as-Salami mengatakan...

Terima kasih Atas Ilmunya.

Posting Komentar