Nama : Mutiah
NIM :
1101120673
Kelas : C
Prodi : TBI
STAIN Palangka Raya 2013
KEBENARAN
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU
A. Latar
Belakang
Manusia tidak mau menerima begitu saja hal- hal yang ada. Sikap manusia
yang selalu meragukan segala macam gejala, atau kejadian yang ada di dunia ini
mendorong mereka untuk mencari kebenaran. Kebenaran ini haruslah dapat
dipertanggungjawabkan dan dapat diterima oleh masyarakat. Meskipun begitu,
kebenaran yang ada tidak selamanya menjadi kebenaran. Hal inilah yang akhirnya
akan menunjukkan manusia kepada kebenaran sejati yang tak dapat dijangkau oleh
manusia.
Dalam filsafat, mencari kebenaran amat penting karna kebenaran adalah
salah satu tujuan dalam filsafat. Aristoteles, filsafat Yunani
sangat kagum terhadap Plato yang memang gurunya. Namun, dia lebih mencintai
kebenaran ketimbang mencintai Plato. Begitu juga Al-Ghozali yang serius mencari
kebenaran hingga dia mengeluarkan pertanyaan dalam dirinya, aliran mana yang
paling benar dari semua aliran itu.[1]
Kebenaran adalah tujuan utama dalam berfilsafat. Manusia sadar akan
keterbatasan dirinya. Ia akan mulai memikirkan hal-hal kecil dan kemudian memikirkan
bahwa di luar manusia pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan
bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki.
B. Teori
– Teori Kebenaran
Pada
umumnya, teori kebenaran terbagi menjadi tiga, yaitu :
1. Teori
Kebenaran Saling Berhubungan
Teori
kebenaran saling berhubungan (cocherence theory of truth) menyatakan
bahwa suatu proposisi itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan dengan
ide-ide dari proposisiyang telah ada atau benar.[2]
Maksudnya adalah sesuatu itu benar apabila hal tersebut mempunyai hubungan
dengan sesuatu yang terdahulu yang benar, serta dapat dibuktikan melalui fakta
dan logika.
2. Teori
Kebenaran Saling Berkesucian
Teori
kebenaran saling berkesucian (correspondence theory of truth) menyatakan
bahwa suatu proposisi itu bernilai benar apabila proposisi itu saling
berkesucian dengan kenyataan atau realitas.[3]
Maksudnya adalah apabila sesuatu itu dianggap benar, maka dapat langsung
dibuktikan pada dunia kenyataan.
3. Teori
Kebenaran Inkerensi
Teori
kebenaran inherensi (Inhereent theory of truth) disebut juga teori
pragmatis. Teori ini memandang bahwa suatu proposisi memiliki nilai kebenaran
apabila memiliki akibat atau konsekuensi-konsekuensi yang bermanfaat.[4]
Maksudnya adalah sesuatu itu benar apabila sesuatu itu mempunyai kegunaan dalam
kehidupan manusia.
C. Filsafat
Ilmu
Filsafat atau
“philosophia” berasal dari bahasa Yunani yang berarti: “Cinta akan
kebijaksanaan” (love of wisdom). Menurut tradisi, Pythagoras atau
Socrateslah yang pertama-tama menyebut diri “philosophus”, yaitu sebagai protes
terhadap kaum “Sophist”, padahal kebijaksanaan mereka itu hanya semu
kebijaksanaan saja. Sebagai protes terhadap kesombongan mereka maka
Socrates lebih suka menyebut diri “pecinta kebijaksanaan”, artinya orang yang
ingin mempunyai pengetahuan yang luhur (sophia) itu.[5]
Berdasarkan
uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa filasafat berarti cinta
kebijaksanaan. Seorang filsuf atau filosof adalah para pencari kebijaksanaan
atau pecinta kebijaksaan. Kebijaksanaan di sini adalah kebijaksaan yang hakiki,
kebijaksanaan yang sesungguhnya.
Ilmu disebut
juga pengetahuan. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu.[6]
Dari pengertian
tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa pengetahhuan adalah hasil dari pekerjaan
tahu yang sangat erat dengan kebenaran. Pengetahuan itu harus benar. Karena
pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka dalam
kehidupan kita memiliki pengetahuan dan kebenaran.
Filsafat dan
ilmu memiliki hubungan yang saling melengkapi satu sama lainnya. Keduanya
saling mengisi dan saling melengkapi, karena orang mulai berfilsafat disebabkan
ingin mengetahui sesuatu. Dari proses itulah yang akhirnya menghasilkan
pengetahuan atau ilmu yang benar.
D. Pembahasan
Kita memahami
filsafat sebagai “cinta akan kebijaksanaan”. Kebijaksanaan di sini saya
artikan sebagai mengerti atau mengetahui. Tapi sesungguhnya tidak semua apa
yang kita mengerti atau ketahui itu adalah suatu kebijaksanaan. Yang pasti
adalah kebijaksanaan atau filsafat merupakan suatu bentuk pengetahuan tertentu
dalam arti sebenarnya atau lebih umum dan mendalam. Dalam hal ini, Plato pernah
mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan
kebenaran yang asli.
Pada umumnya
seorang filsuf mulai berfilsafat karena adanya rasa kagum atau adanya rasa
heran dalam pikiran filsafat itu sendiri. Rasa heran dan meragukan ini
mendorong manusia untuk berpikir lebih mendalam, menyeluruh, dan kritis untuk
memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki.[7]
Tetapi, tidak
semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya
benar. Karena kebenaran adalah suatu sifat dari kepercayaan, dan diturunkan
dari kalimat yang menyatakan kepercayaan tersebut. Kebenaran merupakan suatu
hubungan tertentu antara suatu kepercayaan dengan suatu fakta atau lebih di
luar kepercayaan. Bila hubungan ini tidak ada, maka kepercayaan itu adalah
salah. Suatu kalimat dapat disebut “benar” atau “salah”, meskipun tak seorang
pun mempercayainya, asalkan jika kalimat itu dipercaya, benar atau salahnya
kepercayaan itu terletak pada masalahnya.[8]
Dari penjelasan
di atas, saya menyimpulkan bahwa kebenaran itu adalah hasil dari seseorang yang
berfilsafat. Tapi, hasil filsafat itu akan dikatakan benar jika dipercaya
kebenarannya dan dapat dibuktikan.
Seseorang yang
mencintai kebenaran, akan bersikap dan bertindak sesuai kebenaran. Kebenaran
adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Jika
manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis.[9]
Kebenaran yang kita pegang sebagai kebenaran saat
ini, mungkin suatu saat hanya akan menjadi suatu
pendekatan kasar dari suatu kebenaran
yang lebih jati lagi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
sifat manusia yang selalu meragukan sesuatu dan ingin mengetahui kebenaran yang
sesungguhnya. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang sejati, yaitu
kebenaran yang mutlak diluar jangkauan manusia.
E. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kebenaran merupakan hasil
dari proses manusia berfilsafat. Kebenaran ini berbentuk ilmu pengetahuan.
Kebenaran dapat dikatakan benar jika terbukti dan dipercayai bahwa sesuatu itu
benar. Sayangnya, kebenaran yang kita sebut ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran
yang hakiki. Kebenaran tersebut suatu saat akan berganti dengan kebenaran lain
yang lebih benar. Tapi, jika kita menggali sesuatu sedalam-dalamnya, kita akan
mengetahui bahwa ilmu pengetahuan adalah kebenaran yang relatif. Dan akhirnya
kita akan menemukan kebenaran yang mutlak yang berada di luar jangkauan kita.
F. Referensi
Salam, Burhanuddin. Pengantar Filsafat. Cetakan
kelima. Jakarta: Bumi Aksara. 2003.
Sudarsono. Ilmu
Filsafat-Suatu Pengantar. Cetakan kedua.
Jakarta: PT Rineka Cipta. 2001.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif. Cetakan
kedelapan. Jakarta: PT Gramedia. 1989.
http://ahmadmukhlasinalkasuba.blogspot.com/2012/09/teori-tentang-kebenaran-korespondensi.html
(22 Mei 2013 11:28)
http://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
(22 Mei 2013 11:35)
[2]
Drs. Sudarsono,S.H,M.Si., Ilmu
Filsafat-Suatu Pengantar, Cet.2, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001, hal. 146
[3]
Ibid;loc.cit.
[4]
Ibid;loc.cit.
[5]
Drs. Burhanuddin Salam, Pengantar
Filsafat, Cet.5, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hal. 46
[6]
Ibid, op.cit, hal. 5
[7]
Sudarsono, op.cit, hal.2
[8]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu
dalam Perspektif, cet.8, Jakarta: PT Gramedia, 1989, hal. 76
[9]
http://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
(22 Mei 2013 11:35)
0 komentar:
Posting Komentar