TUGAS KELOMPOK V (Lima)
‘’ DINASTI UMAYYAH (661 –
750 M) ‘’
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : SEJARAH
PERADABAN ISLAM
Dosen : Drs. H. Abubakar, H. M
Oleh :
AMIRUL MASYRIQI
MUTIAH
M. RASYID
NORMILAH
RATNA
USWATUN HASANAH
WAHIDAH NURBAITIN
DEPARTEMEN
AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI ( STAIN )
PALANGKA RAYA
JURUSAN
TARBIYAH PRODI BAHASA INGGRIS
TAHUN
1435 H/2013 M
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan
kekuatan dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tercurah limpahan kepada nabi Muhammad
saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan
mengetahui ilmu tentang Sejarah
Peradaban Islam yang diberikan oleh dosen mengenai Dinasti Umayyah. Selain
bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan penulis selanjutnya adalah untuk
mengetahui proses Pendirian Bani Umayah, Pola Pemerintahan Bani Umayah,
Ekspansi wilayah, dan Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami
kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu pengtahuan. Namun, berkat
kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya
dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang Mahasiswa yang pengetahuannya tidak seberapa
yang masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta berdayaguna
di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat
dan maslahat bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
Palangka Raya, Desember 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .............................................................. 1
B.
Rumusan Masalah...................................................
2
C.
Tujuan Penulisan .................................................... 2
D.
Sistematika Penulisan............................................. ....... 2
E.
Metode Penulisan .................................................. ....... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pendirian Dinasti
Umayyah ................................. 4
a.
Asal Mula Dinasti Umayyah........................... 4
b.
Usaha Untuk
Memperoleh Kekuasaan............. 7
B.
Pola Pemerintahan
Dinasti Umayyah ................... 11
C.
Ekspansi Wilayah
Dinasti Umayyah..................... 14
D.
Peradaban Islam pada
Masa Dinasti Umayyah .... 15
E.
Analisis tentang
Dinasti Umayyah ....................... 16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................ 19
B. Saran ..................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya
kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang
berpola Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang
masih menerapkan pola keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah
dengan proses musyawarah akan terasa berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan
dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk
pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan
turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter,
kekuasaan mutlak, kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan
hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam menentukan pemimpin merupakan
gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin. Dinasti
Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi
Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembai’atan
terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian ia memilih berperang dan
melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang sangat
menguntungkan baginya.[1]
Jatuhnya
Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok
yang membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan
kondisi politik yang kacau akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai
beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah,
namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan sesudahnya adalah
diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41
H dan dikenal dengan am jama’ah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam
menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola
pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun
begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan
peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam
perluasan wilayah, kemajuan pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Pendirian Dinasti Umayyah
2. Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
3. Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
4. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Umayyah
C.
Tujuan Penulisan
Ada
pun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses Pendirian
Dinasti Umayyah
2. Untuk mengetahui Pola Pemerintahan
Dinasti Umayyah
3. Untuk mengetahui Wilayah Dinasti
Umayyah
4. Untuk mengetahui Peradaban Islam
pada Masa Dinasti Umayyah
D. Sistematika Penulisan
Penulisan
ini dapat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam upaya meningkatkan pembelajaran Sejarah
Peradaban Islam pada Masa Dinasti Umayyah sebagai hasil belajar siswa pada
khususnya.
E.
Metode Penulisan
Dalam
makalah ini penyusun menggunakan metode penulisan yang bersumber dari buku
pustaka dan browsing internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendirian Dinasti Umayyah
a.
Asal Mula Dinasti Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan
pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap
terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti
Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi
Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan
itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau
menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh
besar diatas merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta
pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada
tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib
merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat
menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat
oleh masyarakat madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah[2]
ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya
Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam yang
ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam
suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke
Syam untuk bertemu dengan Muawiyah
dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali
bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak
yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Sifin,
Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan
(sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang
kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M[3] Muawiyah
tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan,
masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah
mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pengganti Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan
lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas
segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena ada
berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh
gubernur yang diangkat Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam
agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan
menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi
Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil
menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam negeri. Kasus itu tidak melibatkan
sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti
Kuffah, Bashra[4] dan
Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah
Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu
Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan
keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk
bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan
alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu,
khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan
lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin
Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu
karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis
tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena
justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya Hasan dan Husein serta
para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan
melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi
kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah
peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani
Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di
dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin
Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya
sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah
Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan
kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur
Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin
bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi
dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur
Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir,
Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin
Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan
mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam
nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara
massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi
atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan
ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin
Affan untuk segera meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat
itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah
khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan
khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang
diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah
bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib
tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa
segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah
Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.
b.
Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena
terbunuh oleh tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah,
oleh kelompok khawarij[5] yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi
kekuatan umat Islam khususnya para pengikut setia Ali (Syi’ah). Oleh karena
itu, tidak lama berselang umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib
melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang.
Mereka yang melakukan sumpah setia ini (bai’at) ada sekitar 40.000 orang jumlah
yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama kali mengangkat
sumpah setia adalah Qays bin Sa’ad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung
setia Ali bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut
ternyata tetap saja tidak mendapat pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan
dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah yang menjabat sebagai
gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan
karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki
jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali
tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan
persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh muawiyah untuk mempengaruhi massa
untuk tidak melakukan bai’at terhadap hasan Bin ali. Sehingga banyak terjadi
permasalahan politik, termasuk pemberontakan – pemberontakan yang didalangi
oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai
dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada
bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan
Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih
satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah Hasan bin Ali tidak mempunyai
pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di kirimkan surat melalui Amr bin
Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa
dia bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
- Muawiyah
menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya
kepada pihak lain.
- Muawiyah
tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib
beserta keluarganya.
- Muawiyah
menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan
setiap tahun.
- Setelah
Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus
diserahkan kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin
umat Islam.
- Muawiyah
tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak.
Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus
seorang shahabatnya bernama Abdullah bin Al-Harits bin Nauval untuk
menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah sendiri untuk
menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus
orang-orang kepercayaannya seperti
Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah
surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan.
Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda
lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda
lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu
berikrar setia kepadamu.”
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi.
Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah
satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin
sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke
Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di
bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan dilakukan di suatu tempat yang bernama Maskin dengan ditandai
pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil meraih cita-cita
untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin
Ali sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi
dari warga kota Bashrah, usaha ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah
sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan tertinggi umat Islam berada
di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani
Umayyah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya
kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada
anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya sistem
pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” untuk menentukan pemimpin
umat Islam yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah
ibukota Negara dipindahkan muawiyah dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia
berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.[6]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi,
perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Husein menolak melakukan bai’at kepada Yazid bin Muawiyah sebagai
khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke
Kufah atas permintaan golongan syi’ahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini
tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein sebagai Khalifah. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan
dikirim ke damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbela.[7]
B.
Pola Pemerintahan Dinasti Umayyah
Aku
tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi
Sufyan).[8]
Pernyataan
di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia
seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya.
Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad.
Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada
abad ke 7 H.
Di
tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh
muslim lainnya. Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai
ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti
Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41
H/661 M) berbeda dengan kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang demokratis
sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa
sebelumnya dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan
yang di wariskan secara turun temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui
kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara
terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah bermaksud mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang
tetap menggunakan istilah Khalifah, namun dia memberikan interprestasi baru
dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut[9]. Dia
menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “Penguasa” yang di angkat oleh
Allah.[10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak
dilakukan secara demokratis dimana pemimpinnya dipilih melalui musyawarah,
melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil alih kekuasaan dari
tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan
perkembangan umat Islam. Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan
menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya dengan cara mengangkat seorang putra
mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah
Muawiyah bin Abi Sufyan dengan mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah
bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa Bani Umayyah menunjuk
penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk
Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak.
Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-Mukhiran bin Sukan, agar terhindar
dari pergolakan dan konflik politik
intern umat Islam seperti yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
telah meninggalkan tradisi musyawarah untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk
mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani Umayyah kemudian
memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (bai’at) dihadapan
sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini
bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam
yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa
pemerintahan Bani Umayyah juga terdapat perubahan lain misalnya masalah
Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Baitulmal berfungsi
sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang
sama terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi
Sufyan, Baitulmal beralih kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja
seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar bin Abdul Aziz (717-729 M).
Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
- Muawiyah
bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
- Yazid
bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
- Muawiyah
bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
- Marwan
bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
- Abdul
Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
- Walid
bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
- Sulaiman
bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
- Umar
bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
- Yazid
bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
- Hisyam
bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
- Walid
bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
- Yazid
bin Walid (126-127 H/744-745 M)
- Ibrahim
bin Walid (127-127 H/745-745 M)
- Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)[11]
C.
Ekspansi Wilayah Dinasti Bani
Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa
khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di zaman
Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai
daerah Khurasan sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan
lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel ekspansi
ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd
al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil
menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai
ke Maltan.[12]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman
Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman,
kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup bahagia. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu
ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu
pada tahun 711 M. setelah al-Jajair dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin
ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko
dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan
nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan
demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol,
Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira
dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Kordova[13].
Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman
penguasa. Di zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui
pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman ibn Abdullah
al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya
mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang
terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayyah.
Dengan keberhasilan ekspansi ke
beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani
Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara,
Syria, Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia,
Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis
di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).
D.
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti
Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu
membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam tatanan sosial,
politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa
kekuasaan Bani Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
a. Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan
peralatannya di sepanjang jalan.
b. Menertibkan angkatan bersenjata.
c. Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah
mata uang Byzantium dengan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan memakai kata dan tulisan
Arab.
d. Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli)
menjadi profesi sendiri .
e. Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan
pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilannya
diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 – 719 M) yang berkemauan
keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
f. Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang
terlibat dalam kegiatan humanis di gaji tetap oleh Negara.
g. Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan
suatu daerah dengan daerah lainnya.
h. Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
i.
Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi’,
Isti’arah dan sebagainya. Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan
orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka memahami sumber-sumber Islam
(Al-qur’an dan Al-sunnah).
j.
Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi
penduduk luar jazirah Arab yang sangat memerlukan berbagai penjelasan secara
sistematis ataupun secara kronologis tentang Islam. Diantara ilmu-ilmu yang
berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan
Sirah/Tarikh.
E. Analisis Tentang
Dinasti Umayyah
Bahwa
pelajaran terpenting terdapat dari sisi mana kita akan memahami. Misalkan dari
sisi strategi, Dinasti Umayyah sangat hebat didalam pertahanan militernya,oleh
karenanya kekuatan militer sangatlah diperlukan oleh orang-orang Muslim hal
tersebut perlu adanya karena dengan jiwa yang kuat maka kita akan menjadi
muslim yang kuat. Didalam bidang sosial, dapat kita ambil pelajaran bagi
peradaban Islam yakni keberadaan orang Muslim dengan non-muslim itu sama, dalam
artian kita saling menghargai dengan tidak menganggap remeh ataupun melecehkan
agama lain. Contohnya kalau didalam makalah adanya pembedaan kelas masyarakat
antara arab dan non-Arab dan contoh didalam kehidupan kita yakni dengan
mengambil hikmah kejadian pelecehan agama Islam yang dilakukan oleh orang non-Islam.
Dalam bidang
politik, kita bisa mengambil contoh ketika masa jayanya Umayyah dan
keruntuhannya, dimasa jayanya kita bisa meniru dengan kinerja bagus yang
dilakukan Muawiyyah dan di masa kehancurannya kita bisa mengambil pelajaran
dari buruknya korupsi akan mengakibatkan kehancuran negeri.
Pada masa
pemerintahan dinasti Umayah perluasan kekuasaan Islam mengalami kemajuan yang
sangat pesat, hampir menguasai duapertiga belahan dunia. Akan tetapi dalam
pemerintahannya juga banyak noda hitam yang terjadi dalam upaya pelanggengan
kekuasaan. Noda hitam tersebut yang paling memalukan adalah peristiwa Karbala
yang masih membekas pada salah satu kelompok Islam sampai sekarang.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam
, Bani Umayah juga banyak berjasa dalam pembangunan diberbagai bidang. Muawiyah
yang mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda
yang lengkap serta peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha
menerbitkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Dimasa Abd Al Malik
mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang
dukuasi Islam. Untuk itu dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan
memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abd Al Malik juga berhasil
melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan
bahas Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan
Khalifah Abd Al-Malik diikuti oleh putranya Al-Walid ibn Abd Al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan
berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti untuk orang
cacat. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang mnghubungkan suatu daerah
dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik,
gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
Berpijak dari kesimpulan di atas, maka seyogianya kita mampu
mengambil pelajaran yang sarat dengan nilai luhur keislaman dengan mencamkan
pada diri kita bahwa jabatan yang besar dan tinggi yang tersemat pada diri
kita, hendaknya kita mampu mensikapinya sebagai amanat yang kelak akan
dipertanggungjawabkan. Bukan sebagai sarana atau fasilitas kepuasan hawa nafsu.
Kita sendiri bisa melihat, bagaimana kedigdayaan Dinasti Umayyah runtuh karena
penyalahgunaan jabatan pemerintahan. Sebagian khalifah, wazir, dan jajarannya
yang gemar berfoya-foya, lalai dalam bertugas, bahkan tidak memerdulikan lagi
nasib rakyatnya. Akibatnya mereka pun hancur diserang pasukan yang selalu fokus
dan siap dalam kobaran semangat yang membara untuk menghancurkannya.
Oleh karena itu, cukuplah sejarah menjadi sumber ibrah bagi kita untuk
memperbaiki kualitas kehidupan dalam nuansa Islam yang senantiasa menaungi
kita. Tidak perlu ada lagi pemimpin yang bersikap dan berlaku amoral yang hanya
akan menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa dan kaum.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan–penjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa
kesimpulan. Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak
khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada
tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di anggap terlalu
nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin
Afan maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah yang baru. Dan masyrakat melakukan sumpah setia ( bai’at ) terhadap
Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti
umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn ‘Abdi Syams Ibn ‘Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan
namun baru kemudian berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan
kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh dan Hasan ibn Ali
yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam
satu kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah)
tahun 41 H (661 M).
Sistem
pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia
dan Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada
kesukuan. Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau
kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk anaknya Yazid untuk
meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada
masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan.
Dintaranya adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara,
India, dan benua Eropa, pemisahan kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10
provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan pembentukan
dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang
terdiri dari angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang
sosial dan budaya, bidang seni dan sastra, bidang seni rupa, bidang arsitektur,
dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran
dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya
adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan
dengan golongan oposisi Syi’ah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara
dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para khalifah dalam memimpin
pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan oleh Bani
Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syi’ah, dan golongan Mawali.
B.
SARAN
Demikianlah
isi dari makalah kami, yang menurut kami
telah kami susun secara sistematis agar pembaca mudah untuk memahaminya.
Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang tidak akan pernah
ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari
sejarah.
Sering
kali kita lupa bahwa “meskipun” berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah
begitu penting bagi perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar
untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita, belajar menghargai tetes darah
dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita
juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal
berharga untuk melangkah di masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah
yang panjang. maka dari itu, marilah kita menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan dan rasa
kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakar,
Istian Aby. 2008. Sejarah Peradaban Islam untuk Perguruan Tinggi Islam dan Umum, UIN
Malang: Pres.
Hitti,
Philip K, The History of Arabs. 2008. Terjemahan dari The History
of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman
Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Mashurimas,
“Makalah Kekuasaan Dinasti Umayyah”,
di akses dari http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html,
pada tanggal 30 Oktober 2013, pukul 14.49.
Wikipedia bahasa Indonesia, pada tanggal
1 Oktober 2013, pukul 14.49.
Wikipedia bahasa Indonesia, pada tanggal
3 Oktober 2013, pukul 15:29.
Wikipedia bahasa Indonesia, pada tnggal
29 Oktober 2013, pukul 14.30.
Wikipedia,
“Perang Saudara Islam Pertama”, di
akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_saudara_Islam_pertama,
pada tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15.49.
Yatim,
Badri. 2001. “Sejarah Peradaban Islam, Dirasah
Islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII.
Lampiran
Pertanyaan:
·
Kelompok 2
1. Bagaimanakah
pendapat anda tentang pergantian kekuasaan dengan cara membunuh pada masa
pemerintahan Dinasti Umayyah? (hal.7)
2. Adakah
perbedaan antara pola pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah dan pemerintahan
saat ini?
·
Kelompok 3
1. Bagaimanakah
pandangan politik seorang Mu'awiyah bin Abi Sufyan?
·
Kelompok 4
1. Apakah
hal yang paling menonjol dalam pola pemerintahan Dinasti Umayyah?
2. Apa
perbedaan pola pemerintahan Dinasti Umayyah dan Khalifah Utsman bin Affan?
·
Kelompok 6
1. Bagaimana
pendapat anda tentang pergantian kekuasaan dengan cara membunuh pada saat
pemerintahan Dinasti Umayyah?
Jawaban:
·
Kelompok 2
1. Usaha
untuk memperoleh kekuasaan pada saat itu dengan cara halus. Mu'awiyah bin Abi
Sufyan menggunakan kehebatannya dalam berdiplomasi, sehingga ia dengan mudah
mendapatkan kekuasaan dan menggulingkan pemerinntahan sebelumnya.
2. Perbedaan
pola pemerintahan pada masa Dinasti Umayyah dan sekarang adalah pada system
pemerintahannya. Dinasti Umayyah menggunakan system kerajaan dan bersifat
monarki, yaitu turun temurun. Sedangkan pemerintahan Indonesia saat ini
menganut system demokrasi yang pemimpinnya dipilih oleh rakyat secara terbuka.
Walaupun begitu, sebenarnya juga terdapat persamaannya. Contohnya: saat Ibu
Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden Indonesia. Secara tidak
langsung hal itu seperti monarki, karna seperti yang kita tahu Ayah Megawati,
Ir. Soekarno, adalah presiden Indonesia yang pertama.
·
Kelompok 3
1. "Aku
tidak akan menggunakan pedang ketika cukup menggunakan cambuk, dan tidak akan
menggunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut
sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas.
Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika
mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras."
Pernyataan tersebut
cukup mewakili pandangan politik seorang Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Ia cerdas
dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu
membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Menurut para penulis
bigrafinya, nilai utama yang ia miliki adalah al-hilm, yaitu kemampuan
luar biasa untuk menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu. Dan sebagai
gantinya, ia lebih banyak menggunakan jalan damai. Kelembutannya yang sarat
dengan kebijakan, yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat
kagum musuhnya. Sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang
sangat tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan. Intinya, seorang Mu'awiyah
dalam berpolitik lebih memilih jalan damai dengan berdiplomasi daripada harus
melakukan kekerasan, sehingga ia bisa mencapai ambisi kekuasaannya dengan
mudah.
·
Kelompok 4
1. Yang
paling menonjol dalam masa pemerintahan Dinasti Umayyah adalah dalam hal
ekspansi wilayah. Pada masa itu, Dinasti Umayyah melanjutkan ekspansi ke
berbagai wilayah yang sempat terhenti pada masa Khalifah Utsman dan Ali. Daerah
kekuasaan Dinasti Umayyah meliputi sebagian Asia, Afrika, dan Eropa, sehingga
tidak mengherankan Islam menjadi negara yang besar.
2. Walaupun
Utsman bin Affan dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan berasal dari suku yang sama,
yaitu Bani Umayyah, tapi pola pemerintahannya berbeda. Pada masa Khalifah
Utsman, pola pemerintahannya lebih menekankan musyawarah sebagai jalan untuk
mengambil suatu keputusan. Tetapi pola itu berubah saat pemerintahan Dinasti
Umayyah berkuasa, dan menjadi monarki heredities, serta keputusan khlaifah
menjadi mutlak untuk dilaksanakan.
·
Kelompok 6
1. Menurut
pendapat kami, membunuh bagaimanapun alasannya tetaplah tidak baik dan haram.
Apalagi dengan alasan ingin mendapatkan kekuasaan. Sebagaimana firman Allah
dalam QS. An-Nisa:93 yang artinya : "Dan barangsiapa yang membunuh seorang
mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan
Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakannya azab yang besar
baginya.Tapi hal itulah yang
telah terjadi di masa Dinasti Umayyah. Itu adalah salah satu sisi gelap dari
pemerintahan Dinasti Umayyah. Oleh karena itu, dengan mempelajari sejarah
Dinasti Umayyah kita dapat mengambil pelajaran. Sejarah itu dapat kita jadikan
bahan untuk intropeksi diri dan menjadi lebih baik lagi. Kita seharusnya
mengikuti apa-apa yang baik dan meninggalkan yang buruk.
[1]Mashurimas,
“Makalah Kekuasaan Dinasti Umayyah”, di akses dari http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html,
pada tanggal 30 Oktober 2013, pukul 14.49.
[3]Wikipedia,
“Perang Saudara Islam Pertama”, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_saudara_Islam_pertama,
pada tanggal 3 Oktober 2013, pukul 15.49.
[5]Khawārij
(baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar")
ialah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam Islam yang awalnya
mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib,
lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7,
terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda
dari Sunni dan Syi'ah, (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia), pada
tnggal 29 Oktober 2013, pukul 14.30.
[6]Badri
yatim, “Sejarah Peradaban Islam, Dirasah
islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 43.
[7]Badri
yatim, op.cit., hlm. 4.
[8]Philip
K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of
Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R. Cecep Lukman Yasin
dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1,
hlm..257.
[9]Badri
yatim, “Sejarah Peradaban Islam,Dirasah
islamiyah II”, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 42.
[10]Abu
A’la al-maududi, Khalifah dan Kerajaan,
op.cit, hlm. 42.
[11]Istian
Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk
perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1, hlm. 49.
[12]Badri
Yatim, op.cit.,hlm. 43.